Minggu, 22 Agustus 2010

ORTRIKS

Ortriks

Sejak kecil Delta sudah tertarik pada hal-hal yang tidak biasanya mengundang perhatian anak kecil. Delta, perempuan manis yang kini tumbuh menjadi gadis anggun itu masih merasakan hal yang sama. Ia menyukai hal-hal yang berbau langit dan seluruh isi jagad raya. Ia menyukai hal-hal di luar akal sehat. Delta gemar mendengarkan dongeng bahkan waktu kecil ibunya selalu heran melihat betapa tertariknya Delta datang ke toko buku. Pelangi, awan, hujan, aurora, meteor, dan yang paling Delta suka adalah bintang.

Seiring bertambahnya usia Delta, ia tidak ubahnya Delta saat kecil. Rasa ingin tahunya mengenai tata surya membuat Delta memilih untuk menekuni bidang astronomi. Hidupnya begitu lengkap dengan kehadiran keluarga yang selalu ada di sisinya. Delta juga sangat mencintai pekerjaannya, sebagai penulis sekaligus astronom. Upahnya memang tidak seberapa, tapi bagi Delta kepuasan batin adalah nomor satu. Ya, Delta begitu mencintai semua yang ada di hidupnya. Malam ini masih sama dengan malam lainnya di dua puluh tiga tahun silam. Delta selalu terhanyut dan larut dalam ketenangan malam. Entah apa yang membuat Delta begitu mencintai malam. Mungkin karena gugusan bintang di atas sana. Sejak lulus sekolah, Delta menyisihkan uang sakunya hanya untuk membeli teropong kecil. Delta pikir, malamnya akan semakin sempurna jika ia bisa melihat gugusan bintang itu dari dekat. Malam ini, Delta pulang larut karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Ia menarik kursi dan membuka jendela kamarnya. Menyetel teropongnya dan mulai menilik si gugus bintang.

Delta mengernyitkan dahinya heran. Benar adanya, gugus bintang itu selalu ada di sana, tidak pernah hilang dari malamku. Bahkan meskipun cuaca mendung, aku tahu gugus bintang itu masih ada di atas sana, batin Delta. Cahayanya begitu terang, pijarnya seperti pernah ku kenal, ia masih menilik cahaya bintang yang paling terang di atas sana. Beberapa saat kemudian, ia berhenti menilik dan mengambil selembar kertas. Kembali duduk dan membuat titik-titik yang membentuk suatu gambar. Titik yang berasal dari gugusan bintang itu. Ia menghela nafas panjang, malam semakin larut. Berulang kali ia membolak-balik halaman buku yang tebalnya dua puluh senti itu. Mencari gambar gugus bintang yang sama. Ia menggeleng tidak percaya.

Mana mungkin. Aku sudah bekerja sebagai astronom hampir dua tahun, tapi aku sama sekali tidak tahu nama gugus itu. Gugus ini begitu berbeda dari gugusan bintang lainnya. Bahkan di buku setebal ini-pun tidak ada. Di tengah lamunannya, ia-pun terlelap dan masuk ke dalam alam bawah sadarnya.

Hari ini agak berbeda dari biasanya. Delta berharap keputusan yang ia ambil tidaklah salah. Keputusan untuk menemui teman di dunia mayanya. Ia orang dari benua sebelah. Seorang traveler yang suka menjelajahi seluruh negara. Sampai akhirnya ia tertarik pada negara tempat Delta tinggal. Apalagi Delta kerap mengirimkan cuplikan-cuplikan novelnya. Novel karya Delta memang banyak mengulas latar negaranya. Delta bangga bisa tinggal di negara yang sesungguhnya memiliki pesona yang luar biasa. Tiga puluh menit sudah Delta duduk di kafe ini. Memainkan notebook-nya. Setengah pikiran Delta masih tertinggal pada gugus bintang yang misterius itu. Sampai detik ini ia masih mencari informasi mengenai gugus bintang itu.

“Delta?” suara itu mengejutkan ia. Delta mendongakkan kepala menatap sosok yang berdiri. Sosok itu menjulang tinggi. Perawakan pria luar yang jauh berbeda dengan pria di sini. Delta tersenyum menatap bola mata pria itu. Warnanya biru, bening, dan indah.

Yes, are you Zeta?” tanya Delta. Ia tahu kalau sosok ini memang teman dunia mayanya. Tapi, ia hanya mau memastikan saja. Masalahnya, sosok ini agak berbeda dari foto yang dipajang sebagai profilnya. Lebih nyata dan lebih sempurna.

Ia duduk dan mengulurkan tangannya, “You look pretty in real,” bisik pria asing itu. Delta bisa merasakan pipinya panas dan merona. Delta tersenyum simpul. “Kita bisa bicara dengan bahasa kamu,” ujarnya. Suaranya agak terbata-bata. Delta terkejut mendapati pria asing ini bisa bicara dengan bahasa negaranya. “Saya suka belajar bahasa. Termasuk bahasa negara kamu,” ungkapnya lagi.

Pria ini nampak sangat memukau. Guratan tegas wajahnya, tulang pipinya yang tinggi, dan sedikit jenggot di dagunya. Pria ini adalah sosok yang selama ini diimpikan oleh Delta. Bahkan saat ia membuat sebuah cerita, kebanyakan di antaranya memiliki karakter utama sosok seperti orang di hadapan ia. Caranya memandang Delta begitu halus. Sungguh memukau. Tiba-tiba pria itu mengambil secarik kertas yang ada di samping Delta. Gambar gugus bintang yang Delta lihat kemarin malam. Alisnya bertaut heran.

Is this your job?” tanyanya setengah tidak percaya.

“Bukan. Saya sedang mencari nama gugus bintang itu. Saya penasaran. It’s not a part of my job.” Zeta nampak tidak fokus mendengar pembicaraan Delta. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. Membuat wajahnya nampak tegas dan maskulin. “Gugus bintang itu selalu hadir di setiap malam-malam saya. Tapi, di buku manapun saya tidak bisa menemukan namanya.”

Zeta meletakkan secarik kertas itu dan berdiri. Ia tersenyum, senyuman ambigu yang tidak jelas artinya. Spontan, Delta ikut berdiri. “I have to go now, we can talk again later. Nice to meet you, Delta.” Lidah Delta kelu tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa membalas jabatan tangan Zeta dan terpaku memandangi sosok yang perlahan menghilang di balik pintu kafe ini.

Delta terduduk, wajah cantiknya tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewa. Matanya terasa panas. Inikah bentuk penolakan Zeta secara halus? Tapi kenapa? Zeta tidak seramah yang Delta kira. Selama satu tahun mereka berhubungan melalui e-mail, sosok itu nampak sangat menyenangkan. Nampak begitu hangat member tanggapan pada setiap pesan yang Delta kirim. Apalagi belakangan ini sosok itu memberikan perhatian yang tidak biasanya. Lalu mengapa Zeta mendadak pergi tanpa bicara banyak dengan ia? Belum sampai sepuluh menit bahkan. Delta menggelengkan kepala. Apa ini rasanya ditolak? Delta memang kerap menerima pernyataan cinta dari banyak pria. Kerap pula ia menolaknya. Setelah bertemu dengan Zeta, Delta semakin yakin bahwa Zeta adalah jawaban dari harapannya selama ini. Tapi tingkah sosok itu membuat Delta mengurungkan keinginannya.

“Apa yang kamu lakukan?”

Zeta tersadar dan bangkit dari duduknya. Ia mendekati jendela kamar hotel ini. Membukanya perlahan. Menemukan sosok dengan perawakan tinggi besar dan tubuh yang dipenuhi dengan kepingan batuan berkilau sedang berdiri melayang dan melompat anggun ke teras depan kamar hotel ini. Jam menunjukkan pukul satu pagi.

“Saya tidak pernah tahu kalau perempuan itu sama seperti saya,” ungkap Zeta pada sosok itu. Sosok itu berjalan mondar-mandir. Zeta melangkah mundur melihat mata sosok itu berpendar cemas.

“Lantas sekarang apa yang akan kamu lakukan?”

“Entahlah, sungguh sulit. Saya jatuh cinta pada orang yang salah,” balas Zeta lemas.

“Jangan mengucapkan hal itu! Kamu tidak bisa memiliki perasaan itu pada Delta,” balas sosok tinggi besar itu. “Sudah cukup hanya aku yang menjadi seperti ini. Aku sungguh menyesal sekarang.” Sosok itu kembali mundur melompati pembatas teras. Terbang melayang-layang. Zeta harap, kedatangan sosok ini tidak membuatnya jauh dari Delta.

“Apapun itu, kamu tidak tahu bagaimana rasanya mencintai,” ungkap Zeta.

“Terserah. Aku hanya mengingatkan saja,” beberapa detik setelah itu, sosok itu menghilang. Meninggalkan serpihan-serpihan cahaya di depan kamar hotel Zeta.

Kini hanya tinggal Zeta yang dinaungi perasaan gundah dan bingung. Baru kali Zeta jatuh pada perasaan yang begitu dalam. Anehnya, ia merasakan ini bukan pada pandangan pertama. Zeta mulai menyukai Delta sejak ia mengenalnya melalui e-mail. Ada ratusan e-mail yang ia kirim dan mendapat balasan yang selalu membuat Zeta tersenyum. Puncaknya adalah pertemuan hari ini. Wajah manis Delta tidak bisa hilang dari pikiran Zeta. Terlalu lekat rasanya di otak. Tapi, kenapa harus dia? Kenapa harus perempuan itu yang memiliki nasib sama dengan Zeta? Mereka tidak akan bersatu sampai kapanpun. Kecuali satu hal. Hal yang pasti akan sulit untuk diterima pihak manapun. Baik Delta maupun Zeta.

Malam ini suasana hati Delta sedang tidak keruan. Hingga pukul setengah dua pagi, ia masih belum bisa memejamkan matanya untuk tidur. Berulang kali ia memandangi langit malam dengan bentangan megah itu, duduk meneguk secangkir mocca, kemudian kembali menatap lembaran-lembaran mengenai gugus-gugus bintang. Sampai akhirnya Delta harus mengaku kalah. Bagaimanapun caranya ia mencoba untuk mengalihkan ingatannya pada kejadian hari ini, semua akan kembali pada sosok pria sempurna itu. Delta tidak bisa percaya. Hubungan komunikasinya selama setahun belakangan hanya berakhir singkat dan tanpa makna Ia merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya panas, setitik airmata mulai menitih ke pipinya yang halus. Baru kali ini Delta merasa hancur dengan penolakan yang dilakukan Zeta. Masalah utamanya, pria itu tidak mengajukan alasan yang jelas mengapa ia mendadak pergi tadi. Kalau masalah fisik, bukankah mereka sudah kerap bertukar foto? Lagipula jujur saja, hanya pria bodoh yang menolak sosok anggun dan cantik seperti Delta. Lantas apa?

Sosok tinggi besar itu melayang-layang. Tubuhnya yang dipenuhi kepingan batuan masih menyerap cahaya dan memantulkannya ke seluruh penjuru bumi. Terutama di area ini. Sama seperti malam beratus-ratus tahun silam. Tugas yang ia lakukan dengan tulus dan sangat baik. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya yang hanya sebentar saja. Ia hanya diberi waktu sepanjang malam hingga dini hari untuk bertengger dan melihat gerak-gerik dua mahluk di bawah sana. Namun hari ini, ia mendapati kenyataan yang di luar dugaan. Kenyataan yang membuat ia semakin kalut.

Seingatnya, ia sudah berusaha untuk memisahkan keduanya di dua daerah yang berbeda dan sulit dijangkau. Tapi, ternyata kemajuan zaman bicara lain. Kemajuan zaman membuat hal yang mustahil menjadi mungkin. Kini sosok itulah yang bingung. Bagaimana caranya ia memisahkan dua mahluk yang sedang jatuh cinta ini. Satu sisi, ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada kedua mahluk ini. Di sisi lain, ia tidak pernah tega melihat salah satu di antara mereka bersedih. Apalagi kini keduanya-lah yang bersedih. Kalau sampai mereka terpisah, kehancuran perasaan mereka juga akan membuat hati sosok ini hancur. Cahaya yang ia pancarkan tidak akan seterang dulu. Namun, kalau sampai mereka berdua bersatu, pilihan terberat itu akan diajukan pada mereka. Pilihan yang tidak mudah.

“Kenapa kau tampak murung?” mahluk kecil dengan sayap berwarna keemasan terbang mengitari mahluk tegap ini.

“Aku murung karena mereka murung,” jawabnya pelan.

“Ini bukan salahmu, ini bukan salah siapa-siapa. Mencintai itu sesungguhnya memang menyakitkan tapi jauh lebih menyakitkan kalau harus kehilangan,” bisik mahluk kecil itu.

“Tapi kau tahu sendiri, apa yang akan terjadi kalau sampai mereka bersatu. Mereka akan memiliki nasib yang sama denganku. Itu tidak mudah.”

“Mereka sudah tahu?”

“Zeta tahu itu. Tapi Delta, entahlah.”

“Beri mereka waktu bicara. Biar mereka yang memilih. Seberapa kuat perasaan cinta mereka berdua,” mahluk itu tersenyum dan meninggalkan sosok tegap ini.

Delta berlari menembus pepohonan tinggi di ujung bukit. Entah darimana pria itu tahu kalau ia sedang berada di sana. Satu bulan sudah, pria itu menghilang tanpa memberinya kabar sama sekali. Ia seperti tidak menghargai kehadiran Delta. Sekarang, pria itu datang lagi. Dia tidak tahu betapa hancurnya Delta saat ia pergi tanpa alasan. Bukit ini adalah satu-satunya tempat Delta mencari inspirasi.

“Saya harus bicara penting, Delta! Kamu tidak bisa menghindar terus,” suara langkah mereka berdua terdengar serentak berirama membentuk ritmik yang teratur. Sampai akhinya Delta sadar, ia tidak bisa begini. Delta bukanlah siapa-siapa Zeta. Untuk apa pula ia marah karena penolakan itu? Ia berhenti berlari dan diam memunggungi Zeta. Zeta juga menghentikan langkahnya. Meraih lengan Delta dan menariknya. “Saya harus jelaskan sesuatu.”

Mereka duduk. Sesaat hening. Masing-masing masih sungkan untuk membuka pembicaraan. “Pernahkah kamu memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal? Yang kamu kira tidak akan pernah ada di dunia ini?” bisik Zeta.

“Saya memang penulis, tapi saya tidak pernah mengambil tema mengenai hal tidak masuk akal. Saya juga suka dongeng, tapi belum tentu memercayainya..”

“Saya serius, Delta.” Delta masih belum mau menatap mata Zeta. Padahal ia tahu kalau Zeta sedang memandangnya dalam-dalam. Delta masih melihat lurus ke depan. Bertindak seakan-akan tidak memerdulikan kehadiran Zeta di sisinya. “Saya harus pergi jauh dari kamu.”

“Bukankah kamu sudah pergi dari dulu? Pergi mengacuhkan saya.”

“Hidup kamu begitu sempurna, Delta. Saya tahu itu. Oleh sebab itu, saya tidak ingin mengajukan pilihan berat untuk kamu.” Delta menatap wajah Zeta yang nampak kecewa. Menaikkan setengah alisnya, menyiratkan rasa heran. “Saya belum pernah merasa seyakin ini. Bahkan hanya melalui dunia maya saja, saya yakin. Saya yakin kalau saya memang sedang jatuh cinta pada kamu,” jelas Zeta. Delta membelalakkan matanya tidak percaya. Semudah inikah Zeta mengatakan hal itu setelah sebulan yang lalu pergi tanpa alasan? Delta semakin yakin kalau Zeta adalah jawaban dari doanya selama ini. Doa yang selalu ia panjatkan sebelum tidur. “Tapi kenyataan tidak berpihak pada kita.” Delta mengernyitkan dahinya. “Untuk bisa mencintai kamu secara nyata bagaikan mengukir langit. Kita tidak akan bersatu sampai kapanpun, kecuali satu hal…,” ia mengatupkan bibirnya saat mengucapkan kalimat terakhir ini.

Delta masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zeta di bukit tadi. Delta merasa semakin gila kalau memang apa yang Zeta katakan benar. Kenyataan yang membuat ia sadar bahwa dongeng yang kerap ia dengar dulu berubah menjadi sesuatu yang nyata. Bahkan ia juga tidak pernah menduga kalau ialah bagian dari dongeng itu. Delta berjalan mondar-mandir di teras kamarnya. Malam ini gugus bintang itu menghilang untuk pertama kalinya. Tapi itu tidak membuat Delta heran. Perkataan Zeta lah yang membuat ia heran.

Delta pikir, cerita mengenai mitologi dan hal lainnya hanyalah rekaan. Sampai akhirnya Zeta mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari sosok di cerita itu. Ortriks, rupanya namanya adalah Ortriks. Gugus bintang yang tidak akan ia temukan namanya dimanapun. Hanya orang seperti Delta dan Zetalah yang bisa melihat gugus bintang itu. Orang yang masih berhubungan erat dengan Ortriks dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Hal lain yang membuat Delta gila adalah kenyataan bahwa Delta dan Zeta adalah sosok yang diasingkan oleh Ortriks saat Kaio mengirimkan Spoltur untuk membunuh ia. Mereka adalah salah satu dari keturunan Ortriks yang masih bisa diselamatkan. Saat itu, Ortriks tidak berbeda dengan sosok manusia. Ia hidup di bumi bersama keluarga dan kehidupannya. Ortriks mengasingkan mereka ke dua daerah yang berbeda. Dua benua yang terpisah jauh. Sementara itu, Kaio masih mengejar Ortriks. Hingga akhirnya Ortriks tertangkap dan Kaio mengubahnya menjadi gugus bintang bersama keturunannya yang lain. Ortriks tidak ingin itu terjadi pada Zeta dan Delta. Kaio memberikan kutukan pada keturunan Ortriks yang masih selamat.

Kalau sampai keduanya bertemu dan bersatu, mereka akan berubah menjadi sosok yang sama dengan Ortriks. Gugus bintang yang abadi tiap malam. Yang harus memijarkan cahaya tiap malam. Ya, kalau sampai mereka bersatu. Dan kini, mereka diberikan pilihan yang berat. Mereka bisa bersatu dan saling mencintai selamanya dengan satu syarat, meninggalkan kehidupan mereka di bumi dan abadi menjadi bagian dari gugus bintang Ortriks. Antara percaya dan tidak, Delta harus menerima kenyataan kalau rasa cintanya pada Zeta mengalahkan apapun. Bahkan mengalahkan rasa cintanya pada kehidupan ia di bumi.

“Apa kamu yakin?” Mata Ortriks memandangi satu per satu mata mereka. Tubuhnya melayang-layang di plafon atap rumah Delta. Mahluk mungil di sampingnya ikut tersenyum menatap kedua mahluk itu. Satu sosok lain yang anggun juga melayang-layang di antara mereka. Memandang mereka dengan tatapan sinis.

“Zeta dan Delta, kalian sudah dewasa sekarang.”

Delta mengerjapkan matanya tidak percaya. Benar apa yang dikatakan Zeta, Ortriks memang nyata. Dan mereka memang bagian dari mahluk-mahluk ini. Delta memandangi tubuh Ortriks yang besar dan berkilauan.

“Saya belum pernah memiliki rasa cinta sebesar ini sebelumnya,” bisik Zeta. Ia memandangi Delta halus sambil menggandeng tangannya. Delta membalas tatapan Zeta dengan perasaan yang sama.

“Kalian berdua tidak akan pernah kembali lagi ke bumi. Kalian sadar?” ujar Kaio.

Delta bergerak mundur perlahan. Pilihan berat ini memang tidak mudah. Memilih satu dan melepaskan yang lain. Tapi sama seperti Zeta, Delta belum pernah memiliki rasa cinta yang besar seperti sekarang pada Zeta. Delta yakin dengan keputusan yang akan ia ambil. Toh, nantinya ia tidak hanya akan membahagiakan keluarganya saja tapi juga orang banyak.

“Saya minta waktu sebentar,” Delta melepaskan genggaman tangan Zeta dan berlari turun secara perlahan. Ia masuk ke kamar satu per satu keluarganya. Hingga yang terakhir adalah kamar adiknya. Adik mungilnya. “Vio, bangun.” Bocah itu bangun sambil mengusap-usap matanya. “Kakak akan pergi jauh dan tidak kembali.” Vio memandang Delta aneh dan masih dalam keadaan kantuk. “Tapi Vio jangan takut. Kalau Vio rindu sama kakak, Vio bisa lihat langit dan kakak akan nada di sana malam hari.” Vio mengangguk. Delta mengecup dan memeluk tubuh gadis mungil itu dengan erat. Lalu ia kembali ke atas, menemui mahluk-mahluk yang tidak masuk akal itu.

Zeta membentangkan tangannya menghadap Delta untuk merengkuh tubuhnya. Delta tersenyum dan memeluk Zeta dengan erat. “Kami yakin,” bisik Delta.

“Baiklah, kekuatan cinta kalian memang kuat dan kekuatan cinta kalian mampu membuat kalian nampak tidak logis,” balas Kaio dengan wajah culas. Ortriks nampak kecewa mendengar keputusan bodoh mereka berdua. Namun ia tidak banyak bicara. Sesaat setelah itu, Kaio menjentikkan jarinya di hadapan Zeta dan Delta. Membuat tubuh mereka berubah menjadi tubuh yang sama dengan Ortriks. Tersenyum penuh kemenangan. Delta masih tidak percaya tubuhnya bisa melayang-layang seperti Ortriks. Ada kepingan batu yang membentuk mahkota kecil di kepalanya.

“Selamat menjalankan tugas,” bisik Kaio penuh kemenangan sambil terbang menghilang meninggalkan sekelebatan cahaya.

Ortriks memandangi kedua mahluk di hadapannya dengan pandangan kecewa. Sungguh cinta mereka tidak bisa dipatahkan. Bahkan untuk berkorban meninggalkan keluarga dan kehidupan di bumi-pun mau mereka lakukan. Zeta tersenyum dan menggenggam tangan Delta kuat. “Kamu sangat cantik, Delta.”

Beberapa menit kemudian, Zeta dan Delta melayang-layang ke atas bersama Ortriks dan mahluk mungil di sampingnya. Kini bentuk cinta Zeta dan Delta bukan hanya dalam hati. Kini mereka akan setia bertengger di setiap malam-malam yang indah. Bahkan di malam yang mendung sekalipun. Membantu Ortriks menyinari malam yang gelap. Kini mereka menjadi bintang yang paling terang di langit ini. Zeta dan Delta melebur menjadi satu membentuk cahaya bintang. Kekuatan cinta mereka membuat mereka menjadi bintang yang akan kekal abadi dengan pijaran sinarnya.

*


(Cerita ini akan diikutsertakan dalam ajang Fantasy Fiesta 2010 Adhika Pustaka)

1 komentar:

angki mengatakan...

sekedar mempir belum membaca. selamat nge-blog ;)